Monday, February 22, 2010

PRINSIP 6-R DALAM PENGELOLAAN LIMBAH

PRINSIP 6-R DALAM PENGELOLAAN LIMBAH
Minimisasi limbah domestik, khususnya sampah perkotaan, merupakan cara pencegahan untuk mengatasi ragam dan jumlah limbah yang dihasilkan dari aktivitas manusia, mengingat jumlah limbah tidak mungkin berkurang dan ragamnya pun cenderung bertambah. Pengelolaan limbah secara terintegrasi diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal bagi kegiatan minimisasi limbah. Prinsip 6-R (Rethinking-Reducing-Recovering-Reusing-Recycling-Responding) nampaknya dapat membantu upaya minimisasi limbah domestik, dan oleh karena itu perlu disosialisasikan secara luas.

PRINSIP R-1: RETHINKING (BERFIKIR-ULANG) Yang dimaksud dengan Rethinking (berpikir-ulang) adalah mengubah pola pikir dan cara pandang masyarakat terhadap limbah atau sampah, yakni dari ’limbah atau sampah sebagai barang tak berguna dan tak memiliki nilai lingkungan maupun nilai ekonomi’ menjadi ’limbah atau sampah sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan-ulang untuk memperoleh nilai manfaat bagi lingkungan dan nilai ekonomi yang cukup menjanjikan.’ Rethinking, dengan demikian, adalah pergeseran paradigma dalam penanganan limbah atau sampah, yang tidak lagi sekedar membuang limbah atau sampah, melainkan memanfaatkan-ulang limbah atau sampah dengan berbagai cara yang sesuai dengan karakteristik masing-masing jenis limbah atau sampah tersebut. Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana cara memanfaatkan-ulang sampah atau limbah ini sehingga menghasilkan produk lain yang memiliki nilai lingkungan dan nilai ekonomis.
Secara ringkas, 3-R dari Prinsip 6R ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Recovering (mendapatkan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang barang atau benda yang masih tersisa di dalam limbah – terutama limbah industri – karena proses produksi berlangsung kurang efisien, sehingga rendemen (out-turn = nisbah antara volume produk jadi terhadap volume bahan baku) rendah. Contohnya, sludge dari proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO (Crude Palm Oil) yang dibuang biasanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar, yaitu dengan cara memisahkan sisa-sisa CPO yang ikut terbuang bersama substrat limbah cair dan padat, untuk diproses lebih lanjut secara tradisional menjadi olein (minyak goreng).

(2) Reusing (penggunaan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang ’apa adanya’ sebagian atau seluruh sampah atau limbah atau barang-barang bekas lainnya untuk menghasilkan produk/barang lain atau untuk kebutuhan lain yang bermanfaat. Contohnya adalah memanfaatkan botol bekas kemasan ’strawberry jam’ atau ’peanut butter’ untuk wadah pemeliharaan ikan cupang (laga), wadah bumbu dapur, dsb.

(3) Recycling (mendaur-ulang) adalah tindakan mendaur-ulang sebagian atau seluruh sampah atau limbah untuk menghasilkan produk/barang lain yang lazimnya berbeda bentuk dan sifatnya dari produk/barang aslinya. Contohnya adalah pendaur-ulangan kertas-kertas bekas untuk menghasilkan kertas seni (artistic paper) atau kertas koran. Efektivitas pelaksanaan minimisasi limbah hanya bisa dicapai apabila disertai dengan perubahan pola pikir masyarakat dalam memperlakukan limbah atau sampah. Peningkatan konsumsi masyarakat akan suatu produk barang – baik dalam ragam maupun jumlah – secara alamiah terjadi apabila taraf hidup masyarakat meningkat. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah pola konsumsi masyarakat yang selama bertahun–tahun telah terbentuk akibat pengaruh propaganda barang konsumsi melalui berbagai media massa.

PRINSIP R-2: REDUCING (MENGURANGI) Reducing (mengurangi) adalah tindakan paling pokok dan paling efektif dalam pengelolaan limbah, yakni mengurangi potensi terjadinya limbah atau sampah di tempat lain (yakni selama transportasi, selama di pasaran, dan pada saat dikonsumsi) mulai dari tempat asal produk atau barang yang bersangkutan. Tindakan pengurangan potensi terjadinya sampah atau limbah ini berlaku bagi barang-barang yang berkaitan dengan rumah tangga, industri, dan perniagaan, baik yang bersifat awet (durable) maupun ti-dak awet (indurable). Tindakan pengurangan potensi terjadinya sampah atau limbah bagi suatu produk atau barang ini lazimnya dapat meningkatkan kualitas dan sanitasi produk atau barang yang bersangkutan. Beberapa contoh mengenai hal ini dapat disajikan sebagai berikut:

(1) Para tengkulak sayur di Cipanas, Pangalengan, dan Garut lazimnya mengangkut kol (cabbage), kembang kol (cauliflower), dan wortel (carrot) bersama-sama dengan lembar-lembar daun yang sebenarnya tidak akan dikonsumsi. Tujuannya adalah untuk menjaga agar bagian-bagian sayur yang dapat dikonsumsi tidak mudah rusak selama transportasi atau muat-bongkar di pasar. Di tempat pemasaran, bagian-bagian sayur yang tidak akan dikonsumsi tersebut dikupas dan dibuang, dan demikian timbullah sampah pasar yang sebagian besar terdiri atas sisa-sisa sesayuran. Lain halnya dengan yang dilakukan oleh pemasok sayuran ke supermarket. Mereka pada umumnya membersihkan sayuran di kebun atau di tempat pengum-pulan sayur. Kemudian sayuran yang sudah bersih dan dapat dikonsumsi seluruhnya, dikemas rapih dan dimasukkan ke dalam wadah yang bersih. Kualitas dan sanitasi sayuran jauh lebih baik daripada sayuran yang dijelaskan di atas. Sampai di tempat pemasaran, yakni di supermarket, sayuran ini tidak menghasilkan sampah sedikit pun, melainkan langsung dipajang di lemari berpendingin. Tindakan yang dilakukan oleh tengkulak sayur pertama belum menerapkan prinsip Reducing, sedangkan yang dilakukan oleh pemasok supermarket telah menerapkan prinsip Reducing. Tengkulak sayur pertama menyebabkan Pasar Induk Kramatjati kumuh dan harga sayurnya relatif murah, sedangkan pemasok supermarket membuat supermarket tetap bersih dan harga sayurnya pun lebih mahal. Sisa-sisa sayuran yang ditinggalkan di kebun atau di tempat pengumpulan dapat dimanfaatkan-ulang untuk pakan ternak atau pakan ikan gurame, atau didaur-ulang menjadi kompos yang dapat digunakan untuk memupuk tanaman sayuran pada musim tanam berikutnya. Sisa-sisa sayuran di Pasar Induk Kramatjati dan di pasar-pasar tradisional dibuang menjadi sampah, yang membuat lingkungan perkotaan menjadi kumuh. Akhirnya, sampah ini dibuang ke TPA, yang juga menimbulkan masalah sosial dan dampak lingkungan.

(2) Pergeseran gaya hidup memang telah memperburuk cara pandang terhadap produk dan limbah. Kecenderungan untuk mendapatkan produk berkualitas lebih baik dan lebih praktis telah membuat ibu-ibu rumahtangga memilih produk-produk kemasan pabrik daripada produk-produk curah, misalnya gula, tepung terigu, minyak goreng, dsb. Padahal, plastik pembungkus gula dan tepung terigu serta botol plastik pengemas minyak goreng akhirnya menjadi limbah dan dibuang cuma-cuma. Seandainya teknologi produksi dan pengemasan produk tidak ‘secanggih’ sekarang dan gaya hidup masyarakat masih tetap ‘sederhana,’ maka limbah rumahtangga berupa berbagai jenis kemasan tidak akan terjadi.

(3) Ada perbedaan mencolok antara membeli makanan ‘jajan pasar’ yang dibungkus dengan daun pisang, membeli nasi di Warteg yang dibungkus dengan ‘kertas berlaminasi plastik,’ dan membeli makan siang di outlet franchise semacam Kentucky Fried Chicken atau Hoka Hoka Bento yang dikemas dalam lunch-box mewah. Limbah dari ‘jajan pasar’ berupa limbah organik yang mudah terurai; buangan pembungkus nasi Warteg pada prinsipnya juga tidak terlalu sulit ter-urai, walaupun tidak dapat dikatakan penghematan hutan untuk membuat ker-tas; sedangkan limbah berupa lunch-box dari outlet waralaba jelas-jelas merupakan pemborosan sumberdaya hutan (bahan baku pulp & kertas), biaya cetak, dan rata-rata akhirnya dibuang begitu saja. Persoalannya sekarang adalah, masih bisakah kita kembali ke cara-cara produksi dan konsumsi yang lebih ‘alamiah’ – yang dinilai tidak praktis dan ketinggalan zaman? Jawabannya: Sulit…! Inilah tantangannya.

PRINSIP R-3: RECOVERING (MENDAPATKAN-ULANG) Seperti telah disinggung di muka, Recovering adalah tindakan memanfaatkan-ulang barang atau benda yang masih tersisa di dalam limbah karena proses produksi berlangsung kurang efisien, sehingga rendemen (out-turn = nisbah antara volume produk jadi terhadap volume bahan baku) rendah. Tindakan recovery nampaknya lebih sesuai bagi industri penghasil barang daripada bagi kehidupan rumahtangga. Selain contoh dalam industri CPO di muka, berikut ini disajikan beberapa contoh mengenai penerapan prinsip Recovering, terutama yang berkaitan dengan ‘kesalahan’ kebijakan pembangunan industri nasional selama dasawarsa 1980-an, yakni ‘relokasi industri’ dari negara-negara yang industrinya telah lebih maju daripada Indonesia:

(1) Ketika pemerintah Indonesia melarang ekspor kayu bulat (log) dari hutan alam pada dasawarsa 1980-an dalam rangka – katanya – memajukan industri pengolahan kayu dalam negeri, maka banyak industri kayu lapis (plywood) di Jepang, Taiwan, dan Korea yang membongkar instalasi mesin-mesinnya, kemudian menjualnya ke Indonesia. Ir. Hartarto (Menteri Perindustrian ketika itu) dan Ginandjar Kartasasmita (Ketua BKPM dan Menteri Negara Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri ketika itu) mencanangkan kebijakan ‘relokasi industri’ dan memberi izin puluhan industri pengolahan kayu untuk merelokasi mesin-mesin plywood bekas dari Jepang, Taiwan, dan Korea. Mesin-mesin plywood bekas dari Jepang, Taiwan, dan Korea tersebut, khususnya mesin pengupas veneer (rotary), masih belum mampu meminimkan sisa kayu bulat (center-log), dan hanya mampu menyisakan center-log berdiameter 27 cm. Sisa center-log ini sebenarnya masih dapat menghasilkan satu lembar plywood 120 cm x 240 cm setebal 0,3 s/d 0,5 cm. Dalam kondisi seperti ini, rendemen industri plywood rata-rata kurang dari 50% (berkisar 45,5% s/d 48,5%), dan hal seperti ini berlangsung terus hingga kini. Limbah industri plywood berupa veneer sobek dan center-log di-‘pulung’ oleh penduduk sekitar pabrik. Veneer sobek dirangkai lagi dengan cara direkat menggunakan kertas-berperekat untuk mendapatkan veneer utuh, yang dijual ke pabrik plywood lain untuk diproses lebih lanjut menjadi plywood. Sisa veneer lainnya dimanfaatkan untuk membuat berbagai produk, termasuk komponen furniture, perlengkapan makan dari veneer, dsb. Center-log dirajang untuk dijadikan berbagai produk kayu yang bernilai tinggi, termasuk pinsil, tangkai sapu untuk diekspor, dan perlengkapan rumahtangga. Apa yang dilakukan oleh ‘pemulung’ limbah industri plywood termasuk tindakan recovery, dan mungkin tidak akan terjadi se-andainya pemerintah ketika itu tidak mengambil kebijakan ’relokasi industri’ dengan mengimpor ’teknologi aus.’

(2) Sebuah pabrik pengolahan makanan di Cilegon – milik kelompok supermarket terbesar yang menguasai pangsa pasar makanan basah dalam kemasan di Indonesia – mengolah jagung menjadi berbagai produk makanan. Oleh karena efisiensi mesin untuk proses ekstraksi dan hidrolisis jagung sangat rendah, limbah dari proses produksi ini masih mengandung serat dan protein kasar cukup tinggi. Setiap bulan rata-rata dihasilkan tidak kurang dari 700 ton limbah berupa substrat padat. Limbah ini dijual dengan harga Rp 100 – Rp 150 per kg kepada para ‘pemulung’ untuk diolah lagi menjadi pakan ternak. Pakan ternak dijual ke peternak penggemuk domba dan sapi, sedangkan limbah akhir (sisanya) diproses menjadi kompos. Apa yang dilakukan oleh ‘pemulung’ ini juga merupakan tindakan recovery, dan mungkin tidak akan terjadi seandainya pabrik pengolahan makanan tersebut menggunakan mesin-mesin berteknologi lebih mutakhir.

PRINSIP R-4: REUSING (MENGGUNAKAN-ULANG) Reusing (penggunaan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang ‘apa adanya’ sebagian atau seluruh sampah atau limbah atau barang-barang bekas lainnya untuk menghasilkan produk/barang lain atau untuk kebutuhan lain yang bermanfaat. Cukup banyak contoh penerapan prinsip Reusing ini yang dapat dilakukan di lingkungan rumah-tangga dan tempat kerja. Banyak produk kebutuhan rumahtangga yang dapat digunakan lebih dari satu kali. Produk-produk atau kemasan-kemasan produk yang dapat di-gunakan-ulang ini harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan buangan limbah. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kita secara langsung telah melakukan konservasi (penghematan) bahan dan sumberdaya. Beberapa di antaranya adalah:

(1) Sebagaimana telah disinggung di muka, botol bekas kemasan ‘strawberry jam’ dan ‘peanut butter’ dapat digunakan-ulang: (a) Dicuci dan disimpan, yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Jika sudah terlalu banyak, panggil pengumpul barang bekas, dan juallah kepadanya; atau jual ke peternak ikan hias agar dapat digunakan untuk memelihara ikan cupang (laga); (b) Untuk wadah mainan anak-anak, misalnya kelereng; (c) Untuk menyimpan sisa-sisa bahan, misalnya sisa minyak goreng (jelantah), dsb.; (d) Untuk mencampur berbagai macam juice, pasta, dsb.; (e) Dibawa ke warung untuk wadah barang-barang curah yang dibeli, misalnya minyak goreng, madu, dsb.; (f) Bagi yang mempunyai kegemaran memasak kue, cobalah botol bekas ini digunakan untuk mencetak kue kering dengan berbagai ukuran.; (g) Bagi yang mempunyai kegemaran memancing, botol bekas juga dapat digunakan untuk wadah umpan.; (h) Botol bekas juga dapat digunakan sebagai jambangan (vas) bunga untuk menghias meja.; (i) Jika Anda mengumpulkan cukup banyak botol bekas dari merek produk sejenis, maka Anda dapat menjualnya kepada pengumpul, untuk dijual ke pabrik jam yang bersangkutan.

(2) Di kantor ataupun d rumah, kita sering melakukan penggunaan-ulang cartridge tinta printer yang tintanya sudah habis dengan cara mengisi-ulang (refill) tintanya. Pengisian ulang ini sering dilakukan pada cartridge toner printer laser, toner fotokopi, dsb. Selain mengurangi buangan limbah berupa cartridge bekas, tin-dakan ini juga merupakan penghematan biaya operasional kantor atau urusan cetak-mencetak dengan printer di rumah.

(3) Setelah kita mengenal komputer pribadi (personal computer) dan printer sejak awal dasawarsa 1980-an, yang paling boros adalah penggunaan kertas. Ketika kita masih menggunakan mesin tik – baik mesin tik manual ataupun mesin tik elek-trik – setiap kesalahan ketik lazimnya kita hapus dengan cairan penghapus atau pita penghapus, lalu kata yang salah-ketik kita ketik-ulang. Hal ini tentu saja tidak dapat atau sangat sulit kita lakukan pada printer. Akhirnya, setiap terjadi salah-ketik satu huruf pun, kita akan mencetak-ulang lembar tadi setelah kesa-lahan kita perbaiki. Pengalaman menunjukkan, untuk membuat satu laporan pekerjaan setebal 100 halaman, kertas yang kita habiskan untuk cetak-mencetak bisa-bisa sampai satu rim lebih. Walau demikian, sebenarnya kita masih dapat memanfaatkan-ulang lembar-lembar kertas yang salah-cetak tadi, misalnya untuk mencetak draft untuk keperluan proef-reading sebelum dokumen kita cetak-akhir. Atau, kita dapat memanfaatkannya untuk membuat kliping koran pada halaman yang tidak tercetak.

(4) Selain di kantor dengan urusan komputer dan printer, pengisian-ulang dengan memanfaatkan-ulang kemasan aslinya juga dapat dilakukan pada berbagai jenis barang konsumsi rumahtangga, misalnya kopi instans, kremer, deterjen, pelem-but & pewangi cucian, cairan pel lantai, minyak goreng, lem/perekat, dsb. Produk-produk ini, selain tersedia di pasaran dalam kemasan aslinya (botol plastik atau botol gelas), juga tersedia dalam kemasan isi-ulang yang lebih murah. Meminjam jargon sebuah iklan minuman tambah-energi di televisi, yang mengemas produknya dengan sachet, “Kita kan beli isinya….., Bukan botolnya…..!”

(5) Bagi barang-barang yang tergolong awet (durable), misalnya lemari es, kipas listrik, seterika listrik, dsb., jangan segan-segan mereparasinya apabila suatu saat barang-barang tersebut rusak. Dengan cara ini, Anda telah melakukan penghematan dan tidak membuang barang bekas. Namun, untuk barang-barang elektronik, seperti printer, handphone, dsb., biaya mereparasi kadang-kadang lebih mahal daripada membeli barang sejenis yang baru, kecuali masih dalam jangka waktu berlakunya garansi. Namun, apa pun keputusan Anda untuk mereparasi barang yang rusak atau membeli barang sejenis yang baru, Anda harus tetap berpikir bahwa membuang barang bekas harus menjadi pilihan terakhir. Siapa tahu barang yang Anda anggap ‘bekas’ itu ternyata masih bermanfaat bagi orang lain? Terlalu banyak barang-barang yang dapat digunakan-ulang, baik di lingkungan rumahtangga, tempat kerja, dan industri; yang Anda sendiri pasti pernah melakukan sekurang-kurangnya satu atau beberapa di antaranya.

PRINSIP R-5: RECYCLING (MENDAUR-ULANG) Recycling (mendaur-ulang) adalah tindakan mendaur-ulang sebagian atau seluruh sampah atau limbah untuk menghasilkan produk/barang lain, yang lazimnya berbeda bentuk dan sifatnya dari produk/barang aslinya. Barang-barang bekas yang lazim didaur-ulang dengan cara pemrosesan-ulang di industri untuk menghasilkan produk baru adalah limbah yang tergolong anorganik, yakni yang terbuat dari kertas, plastik dan bahan-bahan sejenisnya, karet dan bahan-bahan sejenisnya, gelas/kaca, kaleng dan berbagai jenis logam lainnya. Barang-barang bekas lazimnya dikumpulkan oleh pemulung di tempat-tempat pengumpulan sampah, baik Tempat Pengumpulan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA); atau dikumpulkan langsung dari rumah ke rumah. Di TPA Bantargebang, misalnya, terdapat tidak kurang 64 jenis bahan yang dikumpulkan oleh para pemulung, mulai dari gelas, plastik, dan kaleng hingga obat-obat kedaluarsa dan bulu ayam…! Beberapa contoh pendaur-ulangan limbah anorganik dan permasalahan yang dihadapi dapat disajikan sebagai berikut:

(1) Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada awal 1990-an pernah melaksanakan proyek pendaur-ulangan kertas untuk memproduksi kertas tulis (HVS). Bahkan, pada dasawarsa 1980-an, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup sempat menggunakan kertas surat resmi yang dibuat dari eceng gondok (Eichornia crassipes). Permasalahan yang dihadapi adalah harga jual kertas daur-ulang ini relatif lebih mahal daripada kertas sejenis yang asli, dan kualitasnya pun tidak lebih baik. Kasus yang sama juga dialami oleh pabrik kertas koran daur-ulang di Merak, Banten, yang kualitas hasil kertasnya tidak lebih baik daripada kualitas kertas koran asli, dan biaya produksi daur-ulang ternyata tidak lebih murah dari-pada biaya produksi kertas asli. Kertas koran daur-ulang tidak diterima oleh penerbit koran terkenal, melainkan hanya dipakai oleh penerbit koran, tabloid, dan majalah skala kecil dan murahan.

(2) Industri plastic-ware (barang-barang dari plastik) yang mendaur-ulang limbah plastik dan PVC (polyvinyl chloride) juga mengalami hal yang sama. Kualitas ember anti-pecah yang dibuat dari campuran limbah karet dan PVC ternyata tidak lebih baik daripada kualitas ember plastik asli. Demikian pula halnya dengan produk-produk daur-ulang plastik lainnya. Selain warnanya yang tidak homogen, kualitasnya kurang baik, kekuatannya rendah, harga penjualannya tidak selalu mampu bersaing dengan hara penjualan produk plastik asli.

(3) Hingga kini tidak ada produk branded yang dikemas dalam botol gelas yang menggunakan botol daur-ulang, baik produk farmasi, minuman, ataupun makanan. Corporate image menjadi lebih penting dari-pada penghematan bahan kemasan produknya. Yang banyak dilakukan hanya terbatas pada penggunaan-ulang botol kemasan, misalnya botol berbagai merek minuman ringan (soft drink) terkenal. Botol kemasan hasil daurulang lazimnya digunakan untuk mengemas produk-produk yang produsennya tidak terlalu mementingkan corporate image, misalnya produk minyak angin, essence, dsb. Limbah yang tergolong organik, termasuk sisa-sisa sayuran, dedaunan, dsb., pada umumnya tidak dipulung, melainkan langsung dibuang ke TPA. Limbah padat organik ini dinilai sebagai ‘mudah terurai secara biologis’ (bio-degradable easily), sehingga retensinya di lingkungan relatif singkat. Namun, penanganan sampah padat organik di TPA yang menerapkan sistem bala press system masih menjadi perdebatan antar-pakar. Pernah ditemukan, bahwa sisa-sisa sayuran (kacang buncis, kol, lettuce, dan wortel) yang diperlakukan dalam bala press system (dikempa dan dibungkus dalam kemasan kedap-air dan kedap-udara, lalu ditimbun) ternyata masih belum rusak (belum terurai) setelah ’tertimbun’ selama 30 tahun. Bagi limbah padat organik, pendaur-ulangan yang dinilai paling sesuai dan justeru dapat memberi nilai tambah ekonomis terhadap limbah tersebut adalah pengomposan (composting). Di samping itu, pengomposan juga mempunyai nilai tambah terhadap lingkungan, yakni sangat membantu pencegahan pencemaran lingkungan oleh dampak pembusukan bahan organik secara anaerobik dan tak terkendali. Disadari ataupun tidak, penanganan sampah padat organik di TPA dengan metode open dumping ataupun sanitary landfill yang tidak sempurna akan menyebabkan proses pembusukan bahan organik secara anaerobik, yang menghasilkan emisi gas methane (CH4). Gas methane adalah salah satu bahan cemaran udara yang tergolong sebagai ‘gas rumah kaca,’ yang secara akumulatif dan global dapat memberi kontribusi terhadap ‘pemanasan global’ (global warming).

PRINSIP R-6: RESPONDING (SIKAP TANGGAP) Responding (sikap tanggap) adalah menyikapi dilema limbah atau sampah dengan mempertimbangkan-ulang penanganan kegiatan produksi dalam industri atau kegiatan rumahtangga dengan hasil limbah yang ada dan menggantikannya dengan proses produksi atau kegiatan yang menghasilkan lebih sedikit limbah (least waste). Bagi industri yang menghasilkan limbah, penerapan prinsip Responding pada hakikatnya sama dengan upaya meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan bahan pendukung, yakni meningkatkan rendemen (out-turn). Beberapa hal penting yang dapat dilakukan adalah:
(1) Bagi industri yang mesin-mesinnya sudah aus (teknologinya sudah ketinggalan zaman), peningkatan rendemen dalam upaya mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi produksi adalah dengan reinvestasi mesin-mesin baru yang lebih efisien dan menghasilkan limbah lebih sedikit (least-waste). Untuk itu, perlu perhitungan yang cermat mengenai perimbangan antara ‘biaya investasi untuk pengganti mesin’ dengan ‘nilai tambah produksi karena peningkatan efisiensi.’ Mengenai hal ini, ada kasus yang sangat menarik dalam industri pulp & kertas di Indonesia, yakni:
(a) Ada sebuah skenario global sehubungan dengan asset recovery pada sektor industri pengolahan kayu yang bermasalah. Dari sekitar Rp 12,4 trilion non-performance loans (kredit macet) sektor kehutanan, sekitar Rp 2,5 trilion di antaranya terjadi pada proyek industri pulp & kertas PT. Kiani Kertas (Group Bob Hasan) di Kalimantan Timur. Perlu diketahui bersama, bahwa sekitar tahun 1995, harga pulp di pasaran internasional sangat baik dan sangat merangsang investor lokal untuk menginvestasikan dananya dalam bisnis pulp & kertas. Harga pulp di pasaran dunia ketika itu dapat mencapai US$ 640 per ton. Penyebab utamanya bukan karena adanya peningkatan permintaan riil akan pulp oleh pasar dunia, melainkan lebih disebabkan oleh kelangkaan pasokan. Langkanya pasokan pulp di pasaran dunia selama kurun waktu tersebut disebabkan oleh adanya kebijakan restrukturisasi dan reinvestasi pada industri pulp dan kertas di kawasan Skandinavia dan Amerika Utara (Kanada dan Amerika Serikat bagian utara). Di kedua kawasan penghasil utama pulp dunia tersebut dilakukan penggantian besar-besaran teknologi pengolahan pulp dengan teknologi yang menghasilkan limbah cair minimum (least liquid waste), sedangkan mesin-mesin dengan teknologi usang direlokasi ke negara-negara sedang berkembang, terutama Indonesia – yang sangat berambisi untuk tampil sebagai produsen pulp terbesar dunia melalui scheme HTI (Hutan Tanaman Industri).
(b) Syahdan, maraklah investasi di bidang industri pulp & kertas di Indonesia, terutama oleh empat raksasa pulp & kertas: Barito Pacific di Sumatera Selatan – milik Prayogo Pangestu, IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper) di Riau – milik Eka Tjipta Widjaja dari Sinar Mas Group, RAPP (Riau Andalan Pulp & Paper) di Riau – milik Sukanto Tanoto dari Raja Garuda Mas Group, dan Kiani Kertas di Kalimantan Timur milik Bob Hasan. Keempat raksasa pulp & kertas ini ternyata rontok bersama-sama dengan rontoknya bisnis per-bankan dan industri manufaktur lainnya menjelang berakhirnya millennium kedua ini.
(c) Selama setahun, yang ternyata terjadi penurunan harga pulp di pasaran dunia, yakni menjadi US$ 420 per ton, US$ 380 per ton, dan terakhir kali – ketika akan dilakukan pelelangan asset Chandra Asri (‘saudara kandung’ Barito Pacific) dan Kiani Kertas tahun 2000, harga pulp anjlok menjadi Rp US$ 300 per ton, yakni sekitar US$ 60 di atas harga break even point pulp untuk skala industri pulp & kertas setara IKPP.
(d) Ada dua kemungkinan mengenai anjloknya harga pulp di pasaran dunia tersebut, yakni: Pertama: Mulai tengah-tahun 2000, beberapa pabrik pulp & kertas di daratan Amerika bagian utara dan di beberapa negara Skandinavia telah mulai beroperasi lagi dengan teknologi barunya, dan produknya pun telah kembali membanjiri pasaran dunia. Kajian lebih lanjut mengenai fenomena ini menyimpulkan, bahwa investor industri pulp & kertas Indonesia ternyata telah tertipu oleh ‘prospek bisnis semu’ yang ditawarkan oleh pemasok mesin-mesin berteknologi usang, yang ternyata hanya berlangsung sementara. Ke-Dua: Mungkin saja raja-raja pulp & kertas dunia berminat untuk membeli asset industri pulp & kertas yang ketika itu ada dalam penanganan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Mengapa mereka sangat berminat? Perlu diketahui, bahwa sejak tahun 1993, tujuh Negara Bagian Amerika Serikat bagian utara telah melarang penebangan hutan yang ada di dalam teritorinya. Untuk memasok industri perkayuan yang ada di negara-negara bagian ini, khususnya industri pulp & kertas, akhirnya didatangkan bahan baku berupa kayu bulat dan chipwood dari daratan Amerika Latin, terutama Brazil dan Guyana. Indonesia dinilai masih terlalu banyak memiliki bahan baku industri pulp & kertas, dan buangan limbah cair berbahaya & beracun dinilai masih belum mendapat perhatian serius dari Rakyat dan Pemerintah dibandingkan yang terjadi di negeri-negeri mereka. Anjloknya harga pulp di pasaran dunia merupakan strategi mereka untuk memperkuat posisi tawar-menawar mengenai ‘harga jual’ industri pulp & kertas bermasalah tersebut, yang ketika itu dianggap sebagai ‘asset nganggur dan bermasalah.’ Apalagi bagi Kiani Kertas, yang dalam masa trial run saja sudah mendatangkan bahan baku berupa chipwood dari daratan Australia, karena hutan tanaman yang dibangunnya ternyata gagal total.
(e) Dari analisis tersebut di atas, ternyata investor Indonesia di bidang industri pulp & kertas dan sekaligus BPPN dan Pemerintah Indonesia juga telah ‘dibohongi’ lagi oleh para investor asing. Kabarnya, Kiani Kertas tengah-tahun 2005 ini telah diincar oleh JP. Morgan, dedengkot perbankan Yahudi dan salah satu ‘sponsor pendirian’ dan ’pemegang saham’ Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat) pada tahun 1010. Padahal, pembangunan tiga dari empat pabrik pulp & kertas tersebut di muka dibiayai oleh ‘sindikasi bank/lembaga keuangan dari tujuh negara’ berupa ‘kredit ekspor,’ yang salah satunya adalah JP. Morgan.

(2) Belajar dari kasus industri pulp di muka, dan juga belajar dari pengalaman relokasi industri di masa lalu, perlu ditegaskan bahwa relokasi industri manufaktur dari negara-negara industri maju harus dicegah, walaupun biaya investasinya relatif lebih murah. Yang harus dibayar mahal pada akhirnya adalah ketidakmampuan industri kita untuk bersaing di pasar dunia, dan ‘harga pencemaran lingkungan yang harus dibayar mahal’ karena mesin-mesin industri relokasi pada umumnya menghasilkan banyak limbah.

(3) Industri yang instalasi penghasil tenaganya (power generating plant) dinilai boros bahan bakar, perlu melakukan penggantian mesin atau bahkan penggantian jenis bahan bakar alternatif.

Bagi kegiatan rumahtangga yang selama ini menghasilkan limbah, penerapan prinsip Responding pada hakikatnya sama dengan upaya pergeseran cara pandang atau paradigma seluruh anggota keluarga mengenai konsumsi barang kebutuhan rumah-tangga. Dalam hal ini, beberapa hal pokok yang dapat dilakukan adalah:
(1) Tanpa harus mengorbankan kepentingan untuk kemudahan & kepraktisan hidup, dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari, setiap keluarga seyogianya memprioritaskan produk-produk yang tidak akan terlalu banyak menimbulkan limbah – baik limbah organik maupun anorganik, baik yang berasal dari kemasan ataupun dari barang-barang konsumsi itu sendiri.
(2) Menggunakan barang-barang kebutuhan rumahtangga secara lebih efisien, yakni tidak terlalu banyak meninggalkan sisa cair ataupun padat yang akhirnya terbuang sia-sia, antara lain limbah sayuran dan bebuahan, limbah buangan air cuci pakaian dan perlengkapan masak & makan, dan limbah kemasan.
(3) Mulai memilah pembuangan limbah basah (bahan organik) dari limbah kering (bahan anorganik) dan khusus bagi limbah bahan anorganik yang terbuat dari gelas, plastik, dan kaleng perlu diupayakan agar dapat dimanfaatkan-ulang, baik untuk di-reuse ataupun di-recycle.
(4) Setiap keluarga harus mengupayakan agar umur barang-barang rumahtangga yang awet dipertahankan cukup lama, sehingga tidak perlu sering mereparasi atau menggantinya dengan barang sejenis yang baru. Bagi barang-barang yang dinilai tidak layak pakai, seyogianya ditawarkan kepada orang lain atau kepada pengumpul barang bekas agar dapat tetap dimanfaatkan.

Seandainya setiap orang anggota masyarakat secara sadar menerapkan Prinsip 6-R sebagaimana yang dibahas di muka, maka pengurangan volume buangan limbah domestik ke lingkungan adalah suatu keniscayaan. Disadari, bahwa sebagian dari ke-enam prinsip tersebut telah dilaksanakan oleh banyak pihak. Namun, nampaknya jauh lebih banyak pihak yang belum melaksanakannya, sehingga keniscayaan tersebut masih tinggal sebagai harapan.

No comments:

Post a Comment